
PAKAR Hukum Pemilu Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mendorong pembentukan Panel Ahli Independen dalam perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dan RUU Partai Politik (Parpol).
Menurut Titi, langkah tersebut penting untuk memperbaiki kualitas regulasi sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap proses legislasi.
“Melalui Panel Ahli Independen, kita tidak hanya memperbaiki kualitas regulasi, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik bahwa undang-undang yang mengatur partai politik dan pemilu benar-benar disusun demi rakyat, bukan demi elite,” ujar Titi dalam keterangannya pada Selasa (23/9).
Titi menilai, setiap kali memasuki tahun politik atau pascapemilu, isu revisi UU Pemilu dan UU Parpol selalu muncul. Namun, ia menegaskan bahwa publik sudah memahami proses tersebut lebih sering menjadi arena tarik-menarik kepentingan antarpartai ketimbang ruang serius memperkuat demokrasi.
“Produk hukum yang lahir kerap tambal sulam, penuh kompromi sesaat, dan jauh dari orientasi jangka panjang. Kita bisa melihat bagaimana pembahasan RUU Pemilu terakhir pada 2021 justru berakhir buntu,” jelasnya.
Selain itu, Titi menyinggung sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menegaskan perlunya perombakan serius hukum pemilu. Sayangnya, kata Titi, DPR justru memilih status quo dengan membatalkan revisi UU Pemilu, sehingga Presiden menerbitkan Perppu Pemilu pada 2022.
“Fenomena ini mencerminkan kelambanan, bahkan keengganan legislatif, untuk menata hukum pemilu secara responsif dan berpihak pada rakyat,” tegas Titi.
Titi menilai, pembentukan Panel Ahli Independen dapat menjadi solusi, seperti yang dilakukan Kanada dan Selandia Baru.
Titi menjelaskan Kanada pernah membentuk Royal Commission on Electoral Reform and Party Financing (Lortie Commission) yang menghasilkan rekomendasi komprehensif.
Sementara Selandia Baru, lanjut Titi, pernah membentuk Royal Commission on the Electoral System yang melahirkan sistem campuran Mixed Member Proportional (MMP).
“Pelajaran dari kedua negara itu sederhana: ketika parlemen sulit menghasilkan kesepakatan karena kepentingan jangka pendek, panel ahli independen bisa menyiapkan rancangan undang-undang yang lebih jernih dan berpihak pada publik,” terang Titi.
Di samping itu, Titi menyebut ada empat alasan utama Indonesia membutuhkan panel ahli independen.
“Pertama, mengurangi konflik kepentingan karena DPR sulit diharapkan rela memangkas privilese partai. Kedua, menghadirkan basis ilmiah dan pengalaman lintas negara. Ketiga, memperkuat legitimasi publik. Keempat, menjamin konsistensi dan stabilitas hukum pemilu,” tuturnya.
Dengan panel ahli ini, lanjut Titi, rancangan undang-undang akan disusun dengan horizon jangka panjang, bukan sekadar pragmatis lima tahunan. Ia juga menegaskan bahwa panel ini tidak akan mengurangi otoritas DPR sebagai pembuat undang-undang.
“Panel ahli bukan pengganti DPR, melainkan mitra kerja yang menyediakan rancangan berbasis kajian dan konsultasi publik. Expertise dari panel dan legitimasi politik DPR justru saling melengkapi,” ujarnya.
Lebih jauh, Titi mengingatkan putusan-putusan MK terbaru telah membuka ruang luas bagi pembaruan regulasi, termasuk pemisahan pemilu nasional dan daerah. Namun, tanpa mekanisme independen, revisi UU Pemilu dan Parpol berisiko kembali tersandera kepentingan jangka pendek.
“RUU Pemilu sudah masuk Prolegnas 2025. Tetapi hingga September ini belum terlihat kemajuan signifikan dari DPR. Karena itu, pembentukan Panel Ahli Independen semakin relevan dan layak ditempuh,” pungkasnya. (Dev/P-3)
[OTOMOTIFKU]