Palestina di Simpang Jalan Zionisme, Resolusi PBB, dan Kompromi Abbas

Palestina di Simpang Jalan: Zionisme, Resolusi PBB, dan Kompromi Abbas
Mohsen Hasan Pemerhati Sosial, Politik, Budaya, dan Isu Global Dewan Pakar DPP Partai NasDem(Dok.Pribadi)

KONFLIK Palestina-Israel kembali menjadi isu sentral dalam diplomasi global. Hampir setiap tahun, PBB dan negara-negara Barat mengeluarkan resolusi, pernyataan, dan janji dukungan bagi kemerdekaan Palestina.

Namun, di balik narasi manis tersebut, terdapat jebakan politik yang tidak sederhana. Realitas di lapangan justru menunjukkan setiap pengakuan atau resolusi internasional kerap diiringi legitimasi baru terhadap eksistensi Israel. Palestina diakui formal tetapi pada wilayah yang semakin mengecil. Di titik inilah, perjuangan Palestina menghadapi persimpangan jalan: antara menerima status simbolis yang tidak adil atau menolak kompromi yang hanya melanggengkan penjajahan.

Musuh Sejati Bukan Hamas atau Iran


Pernyataan PM Israel Benjamin Netanyahu bahwa musuhnya bukan hanya Hamas tetapi juga Iran mencerminkan strategi klasik Zionisme: membangun narasi “ancaman eksternal” agar dunia bersimpati pada Israel. Padahal kenyataannya, musuh sejati bukanlah Iran atau Hamas melainkan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Israel dibangun di atas fondasi kolonialisme dan pendudukan paksa. Sistem apartheid diterapkan di Tepi Barat sementara Gaza dilumpuhkan dengan blokade. Ekspansi permukiman ilegal terus meluas, merampas tanah penduduk Palestina.

Seperti dikatakan oleh Desmond Tutu, tokoh anti-apartheid Afrika Selatan: “Jika Anda diam dalam situasi ketidakadilan, maka Anda telah memilih pihak penindas.”

Solidaritas global yang kini meluas membuktikan bahwa penolakan terhadap Zionisme bukan lagi isu regional melainkan isu kemanusiaan dunia.

Jebakan Resolusi PBB dan Pengakuan Eropa

Gelombang pengakuan Eropa terhadap Palestina memang tampak seperti kemenangan diplomasi. Namun, jika dikupas lebih dalam, pengakuan ini justru mengandung jebakan berbahaya.

  • Skema “dua negara” hanya memberi Palestina sekitar 20% tanah bersejarahnya.
  •  80% sisanya tetap berada dalam kontrol Israel.
  • Palestina diberi status simbolis tetapi kehilangan substansi kedaulatan.

Inilah sebabnya Iran menolak pengakuan semacam itu. Bagi mereka, Israel tidak pernah sah sejak awal karena berdiri di atas pencaplokan tanah. Legitimasi formal terhadap Israel meskipun dibarengi pengakuan Palestina dianggap pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Palestina.

Sejarawan Palestina-Amerika, Edward Said, sudah lama memperingatkan: “Perdamaian yang dibangun di atas ketidakadilan hanyalah bentuk lain dari kolonialisme.”

Kompromi Abbas: Luka Baru Palestina

Situasi semakin rumit dengan pernyataan Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, yang kerap menunjukkan kesiapan berkompromi dengan AS termasuk dalam kerangka “Deal of the Century” ala Donald Trump.

Masalah utama dari langkah Abbas adalah:

  •  Tidak melibatkan Hamas –faksi terbesar di Gaza yang menjadi ujung tombak perlawanan.
  •  Legitimasi rapuh –kesepakatan tanpa partisipasi seluruh rakyat Palestina membuat hasilnya diragukan.
  • Memperdalam fragmentasi –Fatah lebih condong ke diplomasi sementara Hamas mengusung perlawanan.

Akibatnya, isu Palestina bukan hanya konflik dengan Israel tetapi juga krisis kepemimpinan internal yang membuat perjuangan semakin rapuh. Sebagaimana ditegaskan mantan Sekjen PBB, Kofi Annan: “Tidak ada perdamaian abadi tanpa keadilan. Perdamaian hanya bertahan jika rakyat yang tertindas merasakan kebebasan.”

Palestina di Simpang Jalan

Hari ini Palestina menghadapi pilihan yang tidak mudah:

  •  Mengikuti arus resolusi PBB dan kompromi Abbas berarti mendapat pengakuan formal tetapi dengan harga mahal: legitimasi penuh bagi Israel dan kehilangan sebagian besar tanah Palestina.
  • Menolak skema tersebut berarti melanjutkan perjuangan panjang, penuh penderitaan, tetapi tetap menjaga prinsip keadilan sejati.

Musuh nyata bukanlah Hamas atau Iran melainkan Zionisme yang merampas tanah, merobek hak asasi, dan menghancurkan kehidupan. Jalan keluar sejati tidak bisa bergantung pada resolusi PBB yang bias atau kompromi sepihak. Hanya kesatuan internal Palestina, didukung solidaritas global, serta keberanian menolak legitimasi penjajahan, yang bisa membuka jalan menuju kemerdekaan hakiki.

Palestina Harus Memilih

Palestina harus memilih: apakah ingin menjadi simbol yang diakui dunia tetapi tanpa tanah dan kedaulatan atau tetap berjuang di jalan terjal demi sebuah keadilan hakiki. Inilah pertaruhan besar yang tidak hanya menentukan masa depan Palestina tetapi juga harga diri kemanusiaan di mata dunia.

Sebagaimana pernah disuarakan Nelson Mandela: “Kebebasan Palestina adalah kebebasan kita semua.”

Imam Khomeini menyuarakan dengan lantang “Kami tetap tidak akan mempercayai keberadaan Israel Zionis di tanah Palestina dan dia harus hengkang dari tanah tersebut seutuhnya.” (H-4)

[OTOMOTIFKU]