
KONTESTASI Pemilu 2024 meninggalkan catatan kelam, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu di luar negeri. Migrant Care menilai prosesnya penuh masalah, mulai dari tahap prapemungutan suara, pemungutan, hingga pascapemungutan, yang sebagian besar berdampak langsung pada pekerja migran sebagai mayoritas pemilih.
Koordinator Staf Pengelolaan Data dan Publikasi Migrant Care Trisna Dwi Yuni Aresta menyebut Pemilu 2024 merupakan yang terburuk sejak pihaknya memantau pemilu luar negeri pada 2009.
“Inilah tahun 2024 adalah kontestasi pemilu yang paling bobrok dalam sejarah kepemiluan, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu Indonesia di luar negeri,” ujarnya saat menyampaikan rilis pernyataan sikap penataan ulang kelembagaan pemilu #ResetKPU secara daring, Minggu (21/9).
Salah satu akar persoalan, kata Trisna, adalah ketiadaan perspektif pekerja migran dalam kebijakan pemilu. Padahal, mereka merupakan mayoritas pemilih di luar negeri. Akibatnya, banyak tahapan tidak berjalan transparan, mulai dari pendataan hingga distribusi surat suara.
Pada tahap prapemungutan, informasi soal prosedur pendaftaran pemilih dinilai terbatas. Data yang digunakan hanya bersumber dari Kementerian Luar Negeri, tanpa melibatkan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Minimnya uji publik daftar pemilih dan absennya kanal daring untuk memantau progres pendaftaran juga memperburuk keadaan.
Hambatan itu berlanjut pada tahap pemungutan suara. Di beberapa negara, metode pemilihan berubah mendadak akibat kegagalan diplomasi, seperti yang terjadi di Hong Kong, di mana hanya tersedia satu TPS di KJRI. Kondisi ini menyebabkan banyak pekerja migran tidak bisa menyalurkan hak pilihnya.
Masalah transparansi distribusi surat suara pos dan kotak suara keliling juga menimbulkan kerugian negara. Menurut Trisna, banyak surat suara yang kembali ke pengirim tanpa penjelasan jelas. “Banyak sekali kerugian yang dilakukan karena ketiadaan koherensi antara metode yang seharusnya bisa pekerja migran pilih untuk memilih dan pos, sehingga mengakibatkan kerugian anggaran negara yang jumlahnya sangat fantastis,” kata dia.
Di Taiwan, ribuan surat suara bahkan didistribusikan sebelum waktunya sehingga dinyatakan tidak sah. Kasus ini menunjukkan kelalaian penyelenggara sekaligus membebani anggaran negara. Namun, penyelesaian masalah seringkali tidak transparan dan sanksi tidak jelas.
Trisna juga menyoroti lemahnya mekanisme pelaporan dugaan kecurangan pemilu di luar negeri. Laporan Migrant Care, misalnya, dua kali ditolak tanpa kejelasan tindak lanjut. Hal ini memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap integritas penyelenggara pemilu.
Selain itu, tidak ada transparansi dalam penggunaan anggaran. Migrant Care pernah menanyakan biaya pengiriman surat suara melalui pos yang disebut mencapai Rp100 ribu per lembar. Namun hingga kini, rincian penggunaan anggaran itu tak pernah dibuka ke publik.
Lebih jauh, KPU juga dianggap mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi terkait penataan daerah pemilihan (dapil). Konsekuensinya, pemilih luar negeri masih masuk dalam dapil Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri, yang menurut Migrant Care tidak mencerminkan keterhubungan antara konstituen dan dapil.
Serangkaian masalah itu membuat Migrant Care menyerukan reset total terhadap KPU. Trisna menegaskan bahwa reformasi penyelenggaraan pemilu harus berpijak pada perspektif perlindungan pekerja migran. “Ketiadaan perspektif pekerja migran itulah menjadi hal yang paling pokok kenapa reset KPU perlu dilakukan,” pungkasnya. (Mir/M-3)
[OTOMOTIFKU]