
AKSI demonstrasi yang berujung ricuh beberapa hari lalu memperlihatkan sisi gelap kondisi sosial bangsa Indonesia. Maraknya kasus korupsi, menurunnya etika berkomunikasi di ruang publik, hingga ucapan kasar dari tokoh yang seharusnya menjadi teladan, semakin menegaskan bahwa bangsa ini tengah menghadapi krisis moral.
“Kekerasan di jalanan dan praktik korupsi adalah refleksi kurangnya pendidikan karakter sejak dini,” ungkap Founder Prime Smart Irawan Febianto, di Bandung, Jawa Barat, Minggu (28/9).
Menurutnya, untuk mengantisipasi hal itu, anak-anak sedari dini harus belajar mengenai empati yakni kemampuan memahami perasaan orang lain serta adab dalam bersikap dan berbicara.
“Banyak pakar sepakat pendidikan tidak boleh berhenti pada pencapaian akademik. Yang lebih penting adalah menanamkan moral, integritas, dan kendali emosi sejak dini,” kata Irawan.
Di beberapa daerah, ucap Irawan, upaya menanamkan pendidikan karakter sudah mulai terlihat. Dia mencontohkan Prime Smart Islamic Montessori, salah satu lembaga di Bandung yang menaruh perhatian serius pada hal tersebut selama hampir 10 tahun terakhir.
“Di sekolah ini, kami memadukan metode Montessori dengan nilai-nilai Islam untuk memastikan anak tidak hanya berkembang secara intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual,” ucap Irawan.
Di ruang kelas, anak-anak mulai dari usia dini hingga SD, dibiasakan menyelesaikan masalah dengan tenang, menyampaikan pendapat dengan bahasa sopan, serta mengulurkan bantuan kepada teman yang kesulitan. Empati, jelasnya, tidak diajarkan lewat teori panjang, melainkan lewat aktivitas sehari-hari seperti berbagi bekal, merapikan alat belajar bersama, hingga berlatih meminta maaf.
“Menanamkan kejujuran serta empati, melatih anak menjaga lisan, dan membiasakan adab sejak dini, beberapa contoh membentuk pendidikan karakter. Pendidikan sejati harus menyentuh akal, hati, dan jiwa,” ujarnya.
Alhasil, menurut dia, orang tua yang menitipkan anak mereka ke sekolah Prime Smart Islamic Montessori mulai merasakan perubahan kecil tetapi nyata.
“Anak lebih mandiri, terbiasa berkata jujur, lebih tenang menghadapi konflik, serta terbiasa mengucapkan kata tolong dan terima kasih,” papar Irawan.
Namun demikian, ia mengingatkan, bahwa sekolah bisa menanamkan nilai, tapi keluarga tetap fondasi utama. Orang tua adalah guru pertama dan teladan sehari-hari.
“Kebiasaan sederhana seperti berbicara jujur, tak mencari celah untuk curang, menjaga lisan dalam konflik di rumah, hingga memperlihatkan empati kepada tetangga bakal ditiru anak-anak tanpa mereka sadari,” terang dia.
Jika di rumah, anak terbiasa mendengar kata-kata kasar, kemungkinan mereka akan menirunya di sekolah atau pergaulan. Sebaliknya, ketika orang tua konsisten mencontohkan kesantunan, anak-anak bakal tumbuh dengan adab yang lebih kokoh.
“Menjaga lisan dan adab bukan hanya soal kesopanan pribadi, tapi juga fondasi kepemimpinan. Pemimpin yang berbicara dengan santun, penuh empati, serta tidak memprovokasi akan meninggalkan teladan kuat bagi generasi muda,” pungkasnya. (H-2)
[OTOMOTIFKU]