
MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting terkait uji materi Undang-Undang Kementerian yang menegaskan larangan bagi wakil menteri (wamen) untuk merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona mengaku pesimistis aturan ini langsung dipatuhi. Ia memperkirakan masih ada wakil menteri yang akan memanfaatkan masa transisi penyesuaian dua tahun untuk tetap merangkap jabatan.
“Perlu ketegasan Presiden Prabowo untuk memerintahkan seluruh wakil menteri mundur sebagai komisaris BUMN. Kalau tidak, hal ini akan mencederai prinsip profesionalitas mereka sebagai pembantu presiden,” jelas Yance, dalam keterangannya, Jumat (12/9).
Menurut Yance, Presiden bisa memberi instruksi kepada Menteri BUMN untuk segera mencopot segera posisi wakil menteri dari jabatan komisaris.
“Kalau mereka wakil menteri tidak mau berhenti sebagai komisaris, maka pilihannya adalah mundur dari jabatan wakil menteri dan mempertahankan posisinya sebagai komisaris,” jelas Yance.
Yance menilai, putusan MK tersebut harus segera ditaati sebagai langkah positif untuk memperkuat prinsip profesionalitas sekaligus mencegah potensi konflik kepentingan dalam tata kelola pemerintahan.
“Putusan ini merupakan langkah yang baik karena MK secara eksplisit mempertegas larangan bagi wakil menteri untuk rangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN.”
Selain itu, Yance menilai selama ini memang muncul perdebatan di kalangan pemerintah lantaran putusan-putusan MK sebelumnya dianggap tidak jelas dan kurang eksplisit soal rangkap jabatan tersebut.
Ia menekankan, putusan MK kali ini membawa dua pesan penting. Pertama, untuk menghindari konflik kepentingan. “Peluang menciptakan konflik kepentingan besar sekali, apalagi untuk wakil menteri yang menjadi komisaris BUMN yang lingkup kerjanya berkaitan langsung dengan kementerian tempat dia bertugas,” ujarnya.
Kedua, lanjutnya, larangan rangkap jabatan ini juga bertujuan untuk memperkuat profesionalitas. “Dengan pemisahan peran, Wakil Menteri bisa lebih fokus terhadap tugas-tugas kementerian. Sementara posisi komisaris bisa diisi oleh orang yang benar-benar berkonsentrasi pada pengelolaan BUMN. Dari sisi hukum tata negara, hal ini akan positif bagi efektivitas kementerian,” tukasnya.
Meski demikian, Yance menilai masa transisi atau grace period selama dua tahun sebagai waktu penyesuaian tersebut sebaiknya dipahami sebagai batas akhir, bukan toleransi untuk tetap merangkap jabatan.
“Seharusnya segera setelah putusan MK keluar, para Wakil Menteri langsung mundur dari jabatan komisaris. Jika tidak, maka mereka harus memilih mundur sebagai Wakil Menteri. Dua tahun itu hanyalah batas akhir paling lambat,” tegasnya.
Yance juga menanggapi alasan pemerintah yang menyebut penempatan pejabat di BUMN sebagai wujud perwakilan pemerintah. Menurutnya, hal tersebut bisa saja dilakukan, tetapi tidak untuk Menteri maupun Wakil Menteri.
“Undang-undang kementerian dan undang-undang BUMN sendiri jelas melarang menteri dan wakil menteri untuk menjadi komisaris. Jika ingin ada representasi pemerintah, bisa melalui pejabat lain yang tidak dilarang undang-undang,” ujarnya. (Dev/P-2)
[OTOMOTIFKU]