Pengamat soal Kelangkaan BBM di SPBU Swasta Perencanaan Logistik Harus Lebih Baik

Pengamat soal Kelangkaan BBM di SPBU Swasta: Perencanaan Logistik Harus Lebih Baik
Petugas menunggu calon konsumen di SPBU BP Minangkabau, Jakarta, Rabu (17/9/2025).(MI/Usman Iskandar)

PENGAMAT kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai langkah pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam mengatur impor BBM badan usaha (BU) swasta sudah berada di jalur yang tepat. Menurut dia, kebijakan tersebut penting untuk menjaga kedaulatan energi nasional dan melindungi konsumen dari risiko harga yang tidak stabil.

“Ini bukan diskriminasi atau monopoli. Justru konsolidasi pasokan agar volume, kualitas, dan pembiayaan tetap terkendali di tingkat nasional. Dengan begitu, potensi inefisiensi dan disparitas harga bisa dihindari,” ujar Trubus melalui keterangan tertulis, Kamis (18/9).

Trubus menyoroti desakan sejumlah BU swasta pemilik SPBU agar pemerintah kembali membuka kuota impor tambahan. Padahal, menurut dia, kuota impor BBM untuk swasta tahun ini sudah dinaikkan 10% dibandingkan tahun 2024, dan realisasinya bahkan mencapai 110% dari pagu awal.

“Kalau stok habis sebelum akhir tahun, itu harusnya menjadi pelajaran penting bagi industri untuk memperbaiki perencanaan logistik, bukan sekadar meminta tambahan impor,” kata dia.

Ia menegaskan, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyeimbangkan tiga kepentingan sekaligus. Pertama, memastikan konsumen mendapatkan pasokan BBM dengan harga stabil. Kedua, menjaga level persaingan yang sehat antara Pertamina dan BU swasta. Ketiga, melindungi kepentingan nasional agar ketahanan energi tidak terlalu bergantung pada impor.

Menurut Trubus, pangsa pasar BU swasta saat ini sudah mencapai sekitar 11% dan terus tumbuh. Dengan porsi tersebut, swasta sudah bisa memengaruhi narasi publik. Karena itu, pemberian kuota impor tambahan tanpa mekanisme kontrol justru berpotensi mengurangi kemampuan negara dalam menjaga cadangan strategis.

“Sektor energi yang merupakan urat nadi perekonomian jangan sampai dikendalikan oleh kekuatan pasar tanpa arah yang jelas. Kebijakan energi harus berorientasi jangka panjang, bukan reaktif terhadap tekanan pasar. Konsistensi pemerintah dalam tata kelola impor ini sejalan dengan arahan Presiden untuk menghapus kuota diskriminatif, tapi tetap menjaga kepentingan nasional,” ujar Trubus.

Ia juga mendorong pemerintah meningkatkan transparansi data pasokan BBM serta memperkuat komunikasi publik. Dengan demikian, kebijakan yang dijalankan tidak dipersepsikan sebagai proteksi terhadap BUMN, melainkan strategi menjaga stabilitas harga dan pasokan energi.

“Pemerintah tidak sedang memusuhi swasta. Kebijakan ini justru menata pasar agar lebih sehat, transparan, dan efisien. Keterlibatan swasta tetap penting, tapi harus dalam koridor tata kelola nasional yang ketat,” pungkas Trubus.

Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) terjadi di sejumlah SPBU milik swasta seperti BP, Shell, dan VIVO meskipun Kementerian ESDM telah memberikan tambahan kuota impor 10% tahun ini. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan apabila SPBU swasta ingin mendapatkan kuota lebih, mereka bisa melakukan kerja sama dengan Pertamina. 

Menurut Menteri Bahlil, kolaborasi antara SPBU swasta dan Pertamina sangat penting. Ketersediaan BBM merupakan kebutuhan vital masyarakat dan harus tetap dikendalikan oleh negara untuk menjaga stabilitas pasokan. Oleh karena itu, sinergi antara berbagai pihak menjadi kunci dalam mengatasi permasalahan ini.

“Kalau mau minta lebih, ini kan menyangkut hajat hidup orang banyak, cabang-cabang industri ini. Kalau mau lebih, silakan berkolaborasi dengan Pertamina. Kenapa Pertamina? Pertamina itu representasi negara. Kita kan tidak mau cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ini semuanya diserahkan kepada teori pasar. Nanti ada apa-apa gimana?” kata Menteri Bahlil di Kementerian ESDM, Rabu (17/9). (E-4)

[OTOMOTIFKU]