Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Butuh Inklusivitas Terhadap Penyandang Disabilitas

Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Butuh Inklusivitas Terhadap Penyandang Disabilitas
Ilustrasi(Antara )

KETUA Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Daden Supendar, mengatakan bahwa perempuan dengan disabilitas hadir secara penuh dalam gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, karena tanpa inklusivitas, ruang aman yang diperjuangkan belum benar-benar menjadi milik para perempuan. 

“Maka melalui diskusi siang ini kita akan membicarakan mengapa inklusi disabilitas menjadi hal yang sangat mendesak dan penting dalam gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kita juga akan mendengarkan langsung pengalaman perempuan disabilitas khususnya perempuan tuli dengan bagaimana mereka menghadapi kekerasan berbasis gender selama ini dan tantangan besar ketika berupaya mengakses perlindungan,” ungkapnya dalam webinar Komnas Perempuan bertajuk Kita Punya Andil: Wujudkan Ruang Aman Inklusif bagi Perempuan Disabilitas, Senin (29/9).

Lebih lanjut, dari pengalaman ini, seluruh pihak akan belajar bahwa ruang aman tidak akan terwujud bila tidak tersedia akomodasi yang layak. Karena itu, akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas tentunya sangat penting. 

“Oleh karena itu kita juga akan menyoroti kebijakan dan langkah konkret yang dapat memastikan akomodasi layak sebagai fondasi bagi ruang aman perempuan disabilitas,” tegas Daden. 

Melalui kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan setiap tahunnya, Komnas Perempuan menjadikan hal tersebut sebagai momentum penting untuk memperkuat solidaritas bersama menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. 

“Dengan mengusung tema inklusi disabilitas, tahun ini kita diingatkan bahwa perjuangan menghadirkan ruang aman hanya bisa tercapai bila semua perempuan, tanpa terkecuali, dapat berpartisipasi penuh dan terlindungi dari segala bentuk kekerasan,” tuturnya. 

Di tempat yang sama, Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, menekankan bahwa ruang aman bagi perempuan merupakan hak. Artinya bukan fasilitas tambahan dan bukan sesuatu bisa ditambah-tambahkan. 

“Setiap perempuan itu berhak atas rasa aman di rumah, ruang publik, ruang digital, komunitas, serta institusi. Karena ia merupakan hak, maka bisa dan wajib dibayarkan oleh negara, institusi, komunitas, keluarga, dan kita semuanya. Jadi kita bisa dan wajib mengupayakan hal itu karena kalau hal ini tergerus maka harus dipulihkan. Dipulihkannya melalui layanan hukum atau psikososial medis dan dukungan komunitas. Jadi bergantung bagaimana kita melihat kondisi korban dan apa yang diperlukan oleh korban,” ujar Chatarina. 

“Hak ini juga harus dipenuhi oleh anggaran akomodasi yang layak dan mekanisme perlindungan yang efektif. Dengan begitu ruang aman dapat dikembalikan dan artinya selama ini hal itu belum terwujud atau bahkan banyak tempat yang menjadi tidak aman bagi perempuan. Terutama bagi kelompok paling rentan dalam hal ini adalah perempuan disabilitas,” sambungnya. 

Menurut Chatarina, perempuan dengan disabilitas berisiko dua sampai lima kali lebih tinggi mengalami kekerasan dibandingkan perempuan nondisabilitas. Komnas Perempuan mencatat pada 2024, terdapat lebih dari 105 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas terjadi dan 38 di antaranya kasus ini dilaporkan langsung kepada Komnas Perempuan. 

“Jadi ini hanya merupakan puncak gunung es dan hal yang terjadi sungguh-sungguh jauh lebih banyak,” kata dia. 

Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia, menambahkan bahwa mengutip data European Economic and Social Committee (EESC), kondisi perempuan dengan disabilitas itu lebih mungkin mengalami kekerasan dan perempuan yang memiliki disabilitas psikososial dan intelektual atau masalah kesehatan mental lainnya adalah kelompok yang paling berisiko untuk mendapatkan kekerasan. 

Selain itu, Women Enabled International menyebutkan bahwa perempuan disabilitas di seluruh dunia sering kali mengalami pelanggaran serius terhadap otonomi tubuh mereka. Mereka mengalami sterilisasi, kontrasepsi dan aborsi yang dipaksakan atau lebih tinggi dibandingkan perempuan tanpa disabilitas. 

“Riset yang dilakukan Furqan dan Rahwati pada 2023 mencatatkan bawa perempuan dengan disabilitas menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan nondisabilitas dalam mencapai posisi kepemimpinan. Hal ini disebabkan oleh stigma sosial, diskriminasi, dan kurangnya akses terhadap pendidikan dan pelatihan yang memadai,” ucap Dante. 

Dukungan dari keluarga sebagai lingkungan yang terdekat dengan disabilitas juga sering kali tidak diberikan, demikian juga dengan komunitas, pemerintah dan hal ini membuat perempuan dengan disabilitas merasa tidak percaya diri untuk bersuara dan berpartisipasi. 

“Tantangan ini harus kita hadapi bersama. Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah di antaranya melakukan peningkatan kesadaran masyarakat melalui edukasi dan sosialisasi, mulai dari keluarga karena yang paling dekat dengan disabilitas dan masyarakat secara berkala dan berkelanjutan tentang disabilitas, khususnya mengenai perempuan dan haknya harus seperti apa dan bagaimana kita berikan,” tegasnya. 

“Kita juga harus memastikan perempuan disabilitas mendapatkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan atas hak-haknya, khususnya hak dasar yang didasari oleh prinsip aksesibilitas akomodasi yang layak dan partisipasi bermakna. Diperlukan juga ruang kesempatan yang inklusif dan aman untuk semua, termasuk pada penyandang disabilitas karena mereka kelompok rentan untuk mengalami diskriminasi dan kekerasan,” lanjut Dante. 

Sementara itu, Co-Founder & Direktur Eksekutif FeminisThemis, Nissi Taruli Felicia, sebagai penyandang disabilitas tuli merasa layanan penanganan kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) sangat dibutuhkan yang tidak hanya membutuhkan ketersediaan juru bahasa isyarat, tapi juga mencakup perubahan sistemik agar korban tuli dapat memperoleh keadilan dan pemulihan secara penuh. 

“Diperlukan juru bahasa isyarat yang kompeten dan tersedia di setiap lini layanan, mulai dari pelaporan di kepolisian, proses hukum, layanan kesehatan, hingga rehabilitasi. Juru bahasa isyarat ini juga sebaiknya memiliki pemahaman mendasar tentang isu kekerasan berbasis gender dan seksual agar dapat menerjemahkan dengan sensitif dan tepat,” jelas Nissi saat menjelaskan menggunakan bahasa isyarat. 

“Format aduan, informasi hak korban, serta materi edukasi terkait KBGS juga perlu tersedia dalam bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) dan teks sederhana. Mekanisme pelaporan online maupun tatap muka perlu diadaptasi agar dapat diakses secara mandiri oleh tuli. Layanan KBGS juga harus melibatkan organisasi tuli sejak tahap perencanaan hingga evaluasi kebijakan, sehingga layanan benar-benar sesuai kebutuhan,” tuturnya. 

Selain itu, dia menegaskan baik itu polisi, jaksa, hakim, tenaga medis, psikolog, dan pekerja sosial juga perlu dibekali pelatihan mengenai disabilitas tuli dan perspektif gender agar tidak terjadi salah paham atau bias dalam menangani kasusnya. 

Hal yang tak kalah penting, konseling trauma, pendampingan hukum, serta shelter harus bisa diakses tuli dengan dukungan komunikasi yang setara. (Des/I-1)

[OTOMOTIFKU]