Penundaan Pajak E-Commerce Cerminkan Lemahnya Kebijakan

Penundaan Pajak E-Commerce Cerminkan Lemahnya Kebijakan
Ilustrasi(Antara)

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M Rizal Taufikurahman menilai keputusan penundaan penerapan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi e-commerce menunjukkan belum matangnya desain kebijakan pemerintah. Menurutnya, pemerintah belum menetapkan siapa marketplace yang berperan sebagai pemungut, mekanisme pengecualian bagi UMKM berpotensi menimbulkan beban administratif, dan kepastian soal kredit pajak di level Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih belum jelas. 

“Penundaan ini justru memperlihatkan kelemahan desain kebijakan,” ujar Rizal kepada Media Indonesia Minggu (28/9).

Penundaan ini, sambungnya, alih-alih menyelesaikan masalah, justru menimbulkan kesan inkonsistensi dalam kebijakan fiskal digital. Padahal, kepastian regulasi sangat penting, baik bagi pelaku usaha maupun bagi kredibilitas pemerintah di mata investor.

Di satu sisi, Rizal mengakui argumen pemerintah untuk fokus lebih dulu pada penagihan tunggakan pajak hingga Rp60 triliun cukup rasional, mengingat nilainya jauh lebih besar dibanding potensi PPh 22 e-commerce. Namun, jika pembatalan atau penundaan berlangsung terlalu lama, momentum untuk memperluas basis pajak di sektor digital yang tengah tumbuh eksponensial bisa hilang.

“Idealnya, kebijakan ini dijalankan secara bertahap melalui pilot project di marketplace besar,” usul Rizal.

Skema tersebut, ungkapnya, dapat disertai sistem self-declaration otomatis bagi UMKM serta jaminan mekanisme kredit pajak agar tidak terjadi pajak berganda. Dengan demikian, negara tetap memperoleh penerimaan tambahan tanpa menekan daya saing dan keberlanjutan ekosistem digital.

Rizal menambahkan, penundaan pungutan PPh 22 e-commerce sebesar 0,5% pada akhirnya menunjukkan adanya tarik-menarik antara kebutuhan fiskal dan kesiapan regulasi. Jika melihat proyeksi nilai transaksi (GMV) e-commerce 2025 yang mencapai US$73,5 miliar, potensi penerimaan dari pungutan ini tidak kecil. 

Dengan asumsi cakupan efektif 30–70% dari total transaksi setelah dikurangi pengecualian UMKM beromzet rendah dan jenis transaksi tertentu, negara berpotensi memperoleh tambahan Rp1,8–4,2 triliun per tahun. 

Rizal menilai, meski angka tersebut tidak sebanding dengan target penerimaan pajak nasional yang mencapai ribuan triliun, kontribusinya tetap relevan untuk memperluas basis perpajakan di sektor digital yang pertumbuhannya paling pesat. (E-3)

[OTOMOTIFKU]