Perubahan Iklim Pengaruhi Ekologi Vektor Penyakit Zoonosis

Perubahan Iklim Pengaruhi Ekologi Vektor Penyakit Zoonosis
Ilustrasi(Freepik.com)

KEPALA Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indi Dharmayanti, menegaskan perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.

“Perubahan suhu, curah hujan, dan cuaca ekstrem terbukti memengaruhi ekologi vektor penyakit zoonosis, seperti nyamuk dan kutu,” kata Indi dalam keterangan resmi, Kamis (18/9). 

Akibatnya, risiko penyakit malaria, demam berdarah, chikungunya, hingga zoonosis lain terus meningkat. 

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Triwibowo Ambar Garjito, mengungkapkan, BMKG mencatat tahun 2024 sebagai tahun terpanas dengan suhu rata-rata 27,5 derajat celsius. 

Curah hujan ekstrem dan banjir rob menciptakan habitat baru bagi nyamuk, bahkan hingga dataran tinggi di atas 1.000 mdpl yang sebelumnya bebas malaria. Kelembaban tinggi mempercepat siklus hidup Aedes aegypti dan Aedes albopictus, meningkatkan ancaman demam berdarah.

“Deforestasi dan perubahan tata guna lahan memperbesar kontak manusia dengan hewan pembawa penyakit. Dibutuhkan pendekatan multidisipliner untuk memprediksi, memantau, dan mengurangi beban penyakit,” katanya.


Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Arief Mulyono, menyoroti penyakit akibat kelelawar dan tikus. Kelelawar merupakan reservoir berbagai virus berbahaya seperti nipah dan hendra. 

Sementara tikus, dengan kemampuan reproduksi tinggi, membawa lebih dari 80 jenis patogen.

“Kasus leptospirosis, misalnya, sering melonjak pascabanjir besar akibat meningkatnya populasi tikus dan buruknya sanitasi,” ungkapnya.

Arief menambahkan, perubahan iklim mendorong satwa liar bermigrasi lebih dekat ke permukiman manusia. Kelelawar vampir di Amerika Latin bahkan meluas ke wilayah baru akibat kenaikan suhu, menimbulkan risiko penularan ke ternak maupun manusia.

Dia menekankan pentingnya pengendalian komprehensif, mulai dari surveilans, manajemen habitat, konservasi hutan, hingga edukasi masyarakat.

Sementara itu, Ketua Perkumpulan Entomologi Kesehatan Indonesia (PEKI), Suwito, menyebut kondisi ekologi dan iklim tropis Indonesia sangat mendukung perkembangan vektor penyakit. Hampir seluruh wilayah hingga tingkat desa menghadapi risiko penyakit tular vektor dan zoonosis.

Menurutnya, penelitian dan surveilans harus menjadi dasar mitigasi awal, namun tidak berhenti pada kajian semata. “Hasil riset perlu ditindaklanjuti dengan intervensi nyata di lapangan,” tegasnya.

Pihaknya berkomitmen mendukung kesehatan masyarakat melalui jejaring pakar daerah dan berkolaborasi bersama BRIN, pemerintah, dan lembaga internasional.

Kepala Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Wahyu Pudji Nugraheni, menekankan pentingnya sinergi lintas disiplin.” 

Perubahan iklim telah mengubah pola penyebaran penyakit menular, sehingga kolaborasi antara peneliti, akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan mutlak diperlukan,” tegasnya.

Wahyu menyampaikan forum ini memperkaya diskusi sekaligus mempertegas urgensi pendekatan global dalam menghadapi ancaman penyakit akibat perubahan iklim. Menurutnya, upaya pengendalian tidak bisa berjalan parsial, melainkan membutuhkan kerja sama lintas sektor, disiplin, dan negara.

“Melalui basis data terkini dan jejaring internasional, hasil penelitian diharapkan menjadi pijakan intervensi yang tepat sasaran. 

Kolaborasi riset lintas negara pun diharapkan memperkuat kapasitas respons Indonesia dalam menghadapi ancaman penyakit tular vektor dan zoonosis di masa depan,” pungkasnya. (H-2)

[OTOMOTIFKU]