Pria di AS Derita Covid-19 Lebih dari 750 Hari

Pria di AS Derita Covid-19 Lebih dari 750 Hari
Virus Covid-19.(Freepik)

SEORANG pria berusia 41 tahun di Amerika Serikat tercatat mengalami infeksi covid-19 aktif selama lebih dari 750 hari. Selama periode panjang tersebut, ia menderita gejala pernapasan persisten dan harus menjalani rawat inap hingga lima kali.

Pasien ini juga diketahui memiliki riwayat HIV sehingga masuk dalam kelompok sangat rentan tertular SARS-CoV-2. Kondisi itu membuatnya tidak bisa menerima terapi antiretroviral (ART) dan tidak mendapat akses memadai terhadap perawatan medis, meskipun sudah mengalami gejala berat seperti sesak napas, sakit kepala, nyeri tubuh, hingga rasa lemas berkepanjangan.

Sistem imun pria tersebut pun sangat melemah. Jumlah sel T pembantu dalam darahnya hanya 35 sel per mikroliter, jauh di bawah kisaran normal 500-1.500 sel per mikroliter. Lemahnya imunitas inilah yang diyakini memungkinkan virus bertahan begitu lama di dalam tubuh.

Berbeda dengan fenomena Covid panjang (long Covid), di mana gejala menetap meski virus sudah tidak ada, pada kasus ini SARS-CoV-2 tetap aktif dan terus bereplikasi lebih dari dua tahun.

Hasil Penelitian

Ahli epidemiologi Universitas Harvard, William Hanage, menekankan bahwa kasus seperti ini tidak boleh dipandang remeh. Infeksi persisten memberi peluang bagi virus untuk beradaptasi dan berevolusi.

“Infeksi jangka panjang memungkinkan virus mengeksplorasi cara menginfeksi sel secara lebih efisien. Hal ini memperkuat bukti bahwa varian yang lebih mudah menular dapat muncul dari infeksi semacam itu,” ujar William, dikutip dari ScienceAlert, Sabtu (20/9).

Menurutnya, penanganan kasus infeksi berkepanjangan sangat krusial, bukan hanya untuk kesehatan pasien, melainkan juga bagi masyarakat luas. “Menangani kasus seperti ini secara efektif harus menjadi prioritas kesehatan publik,” tambahnya.

Dugaan Penyebab Kondisi

Analisis genetik yang dilakukan tim Universitas Boston yang dipimpin ahli bioinformatika Joseline Velasquez-Reyes terhadap sampel virus pasien antara Maret 2021 hingga Juli 2022 menemukan bahwa laju mutasi virus di dalam tubuh pasien serupa dengan mutasi yang beredar di masyarakat umum.

“Bahkan, sejumlah mutasi terdeteksi pada protein spike virus yang sama dengan yang muncul pada varian Omicron,” jelas Joseline.

Ia menambahkan, temuan tersebut mendukung teori bahwa varian baru dapat berevolusi dari tekanan seleksi virus saat beradaptasi di tubuh manusia.

Meski infeksinya masih menetap, para peneliti tidak menemukan adanya kasus penularan lanjutan. Hal ini mengindikasikan kemungkinan virus kehilangan kemampuan menyebar selama beradaptasi pada satu inang.

Namun, Joseline menegaskan temuan ini tidak menutup kemungkinan bahwa infeksi jangka panjang lain bisa memunculkan varian baru yang tetap menular. Karena itu, kewaspadaan dan pemantauan berkelanjutan sangat diperlukan.

Peringatan bagi Dunia

Kasus infeksi Covid-19 persisten selama lebih dari dua tahun ini memperlihatkan bagaimana lemahnya sistem imun seseorang dapat membuka ruang bagi virus untuk bertahan dan berevolusi. Para ahli mengingatkan bahwa fenomena semacam ini tidak hanya menjadi ancaman bagi individu, tetapi juga berpotensi melahirkan varian baru yang berbahaya bagi masyarakat global.

Temuan ini sekaligus menegaskan pentingnya akses layanan kesehatan yang setara, termasuk bagi kelompok rentan. Hanya dengan pemantauan ketat, terapi yang tepat, dan sistem kesehatan inklusif, risiko munculnya infeksi persisten sekaligus ancaman varian baru bisa ditekan.

[OTOMOTIFKU]