
MILIARAN data tercipta di dunia digital setiap hari. Mulai dari unggahan media sosial, siaran resmi pemerintah, berita daring, hingga percakapan sehari-hari di aplikasi pesan singkat. Lebih dari 221 juta orang di Indonesia, atau sekitar sekitar 79,5% dari populasi, telah terkoneksi internet pada 2024, menghabiskan rata-rata 8 jam 36 menit per hari untuk berselancar daring.
Dengan mobilitas dan interaksi digital yang sedemikian tinggi, volume data yang dihasilkan sangatlah besar. Meski demikian, tidak sedikit konten yang dibagikan di media sosial maupun laman-laman pemerintahan terancam hilang. Menurut laporan Pew Research Center (2024), sekitar 25% dari halaman yang ada dalam sampel dari 2013 hingga 2023 tidak lagi bisa diakses pada Oktober 2023. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi pengarsipan digital yang terencana.
Di balik perkembangan teknologi, tersembunyi ancaman amnesia kolektif, yakni hilangnya ingatan sosial karena arsip digital tak terpelihara dengan baik. Kehilangan ini bukan hanya soal data teknis, melainkan juga berpotensi menghapus memori kolektif masyarakat. Fenomena itu nyata di Indonesia. Banyak laporan resmi pemerintah yang sebelumnya tersedia di laman kementerian, kini tak lagi bisa diakses setelah pembaruan sistem atau migrasi server.
Fenomena keterbatasan akses terhadap beberapa sumber informasi digital tak hanya terjadi di Indonesia. Situasi serupa juga terjadi secara global, ketika Twitter (kini X) membatasi akses antarmuka pemograman aplikasi setelah diakuisisi Elon Musk. Menurut Stokel-Wolker (2023), kebijakan itu membuat banyak peneliti, jurnalis, dan pemrakarsa arsip kehilangan kemampuan untuk mengumpulkan data secara sistematik.
Kebijakan harga dan pembatasan ini telah diperkirakan memangkas atau menutup akses terhadap sampel besar tweet yang sebelumnya tersedia secara akademis (yang dulu mencapai miliaran tweetper bulan), sehingga ‘juta-juta’ cuitan dan metadata terkait menjadi jauh lebih sulit untuk diarsipkan atau diteliti secara kontinu.
Menyadari risiko tersebut, pemerintah Indonesia berupaya mengambil langkah strategis. Melalui Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), upaya dilakukan untuk merawat ‘ingatan’ bangsa, baik dari data masa lampau maupun masa kini. Menurut Kompas (3 Mei 2023), per Oktober 2021 sedikitnya ada 250 ribu gambar atau halaman dari Indonesia dan Asia Tenggara yang telah didigitasi.
Di lingkup kementerian, aplikasi Sistem Informasi Kearsipan Dinamas Terintegrasi (Srikandi) mencatat lebih dari 67 miliar naskah dinas dalam bentuk elektronik dengan 3,5 juta pengguna. Aplikasi Srikandi adalah instrumen pengelolaan arsip dinamis yang berdasarkan Peraturan Presiden No 95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Angka ini menunjukkan kemajuan besar, tetapi sekaligus menghadirkan tantangan: bagaimana memastikan arsip digital aman dari kerusakan sistem dan serangan siber.
ERA PROSUMSI
Urgensi pengarsipan digital semakin terasa seiring perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola informasi. Dahulu, orang hanya menjadi konsumen informasi dari media massa. Kini, selain mengonsumsi, mereka juga bisa menjadi produsen informasi. Fenomena ini disebut George Ritzer (2013) sebagai era prosumsi, ketika setiap orang adalah produsen sekaligus konsumen informasi.
Žilinskait? (2025) menegaskan bahwa prosumsi bukan semata fenomena digital, tetapi internet dan teknologi membuat partisipasi pengguna dalam pengembangan produk maupun konten kian mudah. Unggahan di Instagram, komentar di forum daring, hingga video TikTok bukan hanya ekspresi personal, melainkan juga arsip sosial yang membentuk memori kolektif.
Oleh karena setiap orang bisa memproduksi informasi, arsip digital di era ini sangat rentan. Konten masyarakat dapat hilang sewaktu-waktu, entah karena dihapus otomatis, dianggap melanggar kebijakan, atau akun ditutup pemiliknya. TikTok, misalnya, menghapus jutaan konten tiap kuartal karena melanggar aturan komunitas. Facebook pun rutin menonaktifkan ribuan akun palsu.
Kementerian Komunikasi dan Digital mencatat sejak 2016 hingga awal 2025, ada 6 juta konten negatif yang diblokir karena terkait dengan judi daring dan berita bohong. Tindakan ini memang perlu untuk menjaga ruang digital tetap sehat, tetapi di sisi lain ada risiko jejak digital yang ikut hilang. Padahal, komentar sederhana di media sosial sekalipun bisa menjadi bahan penting untuk penelitian perilaku masyarakat.
Arsip digital tidak boleh dipandang remeh. Ia bukan sekadar tumpukan file di server, melainkan rekam jejak identitas sosial, politik, dan budaya. Tanpa strategi pengarsipan berkelanjutan, generasi mendatang hanya akan belajar dari potongan sejarah yang tidak utuh.
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) menambah kompleksitas persoalan. Teknologi ini mampu menghasilkan deepfake, teks, maupun gambar tiruan yang nyaris identik dengan arsip asli. Kondisi ini membuat publik kesulitan membedakan konten autentik dengan buatan mesin. Tanpa sistem verifikasi yang jelas, arsip digital bisa tercemar informasi palsu. Akibatnya, sejarah masa kini di masa depan berisiko dipenuhi jejak tiruan yang menyesatkan.
MEMELIHARA INGATAN BANGSA
Pengarsipan digital bukan hanya tugas lembaga negara. Kesadaran publik juga penting. Pemerintah memang punya peran besar melalui ANRI dan aplikasi Srikandi, tetapi masyarakat sebagai produsen informasi juga ikut menentukan. Tulisan, foto, atau video yang diunggah bisa saja kelak bernilai historis.
Di sinilah relevansi prosumsi makin tampak. Ketika masyarakat sadar bahwa konten mereka dapat menjadi arsip berharga, mereka akan lebih bijak dalam menyimpan jejak digital. Karena itu, literasi digital tidak boleh terbatas pada isu hoaks atau keamanan data, tetapi juga menyangkut bagaimana merawat arsip sebagai bagian dari sejarah.
Di era AI, literasi ini perlu mencakup kemampuan membedakan arsip autentik dari tiruan. AI memang bisa mempercepat pencatatan, tetapi juga bisa menciptakan ‘sejarah palsu’. Tanpa filter kritis, kita bisa saja mengarsipkan kebohongan seolah-olah kebenaran.
Mengutip filsuf Milan Kundera, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Dalam konteks digital, perjuangan itu terletak pada pengelolaan arsip agar tidak hilang begitu saja. Menjaga arsip digital berarti menjaga ingatan bangsa, dan menjaga ingatan bangsa berarti menjaga masa depan.
[OTOMOTIFKU]