Selamatkan Dapur MBG

Selamatkan Dapur MBG
Hamim Pou Pengamat Kebijakan dan Inovasi, mantan kepala daerah, Inisiator Nusa Strategika Institute(Dok.Pribadi)

SUATU pagi di pesisir timur, seorang kepala sekolah menelepon kelompok nelayan: “Ikan segar untuk dua hari; anak-anak besok sarapan protein.” Adegan itu merangkum Makan Bergizi Gratis (MBG): hak gizi bertemu denyut ekonomi lokal. Di dapur sederhana kompor menyala, sayur diikat, rem pikap dicek, dan di kelas anak-anak menunggu porsi yang bukan sekadar mengenyangkan, melainkan menguatkan martabat.

Begitulah negara seharusnya bekerja: dekat, konkret, terasa. Namun belakangan, ratusan bahkan ribuan siswa jatuh sakit setelah menyantap menu MBG. Orang tua cemas, tenaga kesehatan siaga, ruang publik riuh. Gagasannya baik; eksekusinya lalai. Pekerjaan teknis -merencanakan menu, memesan bahan, memasak, menjaga suhu, mengantar, menerima, menguji, lalu bertanggung jawab- menuntut satuan kecil yang tertib. MBG bukan seremoni melainkan operasi harian. Pertanyaan kuncinya: di mana rantai putus, dan bagaimana menambalnya cepat.

Pada Sabtu 27 September 2025, setiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Presiden Prabowo Subianto menyebut kasus keracunan MBG sebagai “masalah besar” dan menegaskan “habis ini saya akan panggil Kepala BGN,” seraya mengingatkan agar isu ini tidak dipolitisasi; sejalan dengan arahan itu, BGN memperketat pengawasan dan menutup sementara dapur yang melanggar SOP -dari 45 dapur yang tidak patuh, 40 ditutup sambil menunggu investigasi dan perbaikan.

Di level pelaksanaan, rantai kerap putus karena tiga perkara: kapasitas dapur dipaksa melebihi kemampuan, waktu dan suhu tidak dijaga disiplin, serta jarak antar melampaui ambang. Akibatnya, makanan dimasak terlalu awal, dibiarkan terlalu lama, lalu menempuh perjalanan panjang. Di sekolah, penerimaan sering tanpa termometer dan dokumentasi. Solusinya bukan teori baru melainkan disiplin sederhana yang konsisten: patok radius 10 kilometer atau kurang dari satu jam antar; penuhi prasyarat dapur laik higiene; dan buktikan suhu di pintu kelas—setiap hari, setiap porsi.

Hulu, dapur, dan hilir harus saling mengunci. Dinas Pertanian atau Perikanan menjaga kalender produksi, kualitas bahan segar, dan kestabilan pasokan melalui kontrak panen atau tebar dengan koperasi produsen. Dapur bukan sekadar ruang masak melainkan pabrik pangan mini berisiko publik: wajib uji komisioning kapasitas, standar laik higiene sanitasi yang nyata, serta rencana produksi harian selaras jadwal.

Dinas Kesehatan hadir sebelum kejadian: uji kelayakan, sampling acak, pembacaan termologger, dan audit suhu. Sekolah sebagai titik penerima menegakkan syarat sederhana: terima bila memenuhi bukti; tolak bila tidak, lalu laporkan dalam dasbor kabupaten.

Mesin Ekonomi Bekerja Bersih


Peran Pemerintah Daerah tidak bisa sekadar administratif. Pemda adalah otot eksekusi. Ia memastikan gangguan selesai dalam kurang dari satu jam, menata ulang rute, dan menegakkan kontrak berbasis kinerja. Pemda memimpin pembentukan pos kendali MBG tingkat kabupaten atau kota yang aktif setiap hari sekolah: memantau rute, menganalisis keluhan, mengoordinasikan uji acak, dan berkomunikasi cepat. Ketika ada indikasi keracunan, pos ini langsung mengkarantina klaster, mengambil sampel, dan menghentikan alur sampai penyebab jelas. Kecepatan tanpa arah adalah kekacauan; arah tanpa kecepatan adalah kemewahan. Keduanya harus hadir serentak.

Mesin ekonomi harus bekerja bersih. Koperasi dan BUMDes menjadi tulang punggung logistik dengan pola milk-run, penyimpanan dingin seperlunya, agregasi volume kecil, dan kepatuhan dokumentasi. Kontrak panen atau tebar dibayar tepat waktu agar produsen kecil berani menjaga mutu. Pembayaran berbasis kinerja menautkan uang pada hasil: tepat waktu, tepat suhu, tepat mutu, rendah keluhan. Pusat tidak perlu mengontrol segalanya; cukup menetapkan standar, membuka data, dan berani menghentikan yang melanggar dengan tenggat pemulihan yang adil.

Kebijakan yang baik tumbuh dari kepercayaan dan kepercayaan lahir dari transparansi yang terlihat. Indikatornya harus sederhana tetapi tajam. Pertama, waktu antar: target kurang dari satu jam dari dapur ke kelas. Kedua, bukti suhu: catat dan foto titik kritis saat keluar dapur dan saat diterima. Ketiga, keluhan per sepuluh ribu porsi: tren mingguan yang memberi sinyal dini. Tiga indikator ini bukan hiasan melainkan alat navigasi harian. Bila satu lampu menyala merah, pos kendali bergerak; bila dua lampu merah, karantina klaster dan audit proses; bila tiga lampu merah, hentikan, perbaiki, lalu mulai lagi dengan disiplin.

Kita juga perlu bahasa yang membumi di lini terdepan. Warden—pengawas yang memegang termometer dan daftar cek—bukan polisi melainkan penjaga keselamatan. Tugasnya membaca suhu, memotret bukti, menandai keluhan, dan mengajari kebiasaan baik. Ia berdiri di jembatan antara standar dan kenyataan: memastikan prosedur tidak hanya ditulis tetapi dihidupkan. Kehadirannya membuat akuntabilitas terlihat sekaligus menenangkan orang tua: ada mata yang awas, ada tangan yang bekerja, ada sistem yang berjalan.

Teknologi membantu, tetapi bukan menggantikan disiplin. Dasbor kabupaten menampilkan rute, waktu, suhu, dan keluhan per sekolah. Dasbor nasional mengonsolidasikan gambaran, memotret tren, dan mengirim peringatan dini. Kamera di dapur menekan kelengahan tanpa mematikan kepercayaan. Termologger mencatat tanpa lelah. Sistem pengaduan sederhana—kode cepat, tanggapan otomatis, status penyelesaian—membuat warga merasa dihargai. Semua itu bekerja bila data jujur, alur singkat, dan wewenang jelas.

Uang negara Kembali ke Rakyat

Hari kerja yang kita mau tidak mewah. Truk berhenti tepat waktu; panci dibuka di hadapan warden; suhu dibaca; foto diunggah; catatan singkat terkirim ke dasbor. Anak-anak makan dengan aman; guru mengajar dengan tenang; produsen kecil dibayar pada T+7 tanpa dalih. Di layar pos kendali, indikator hijau; di layar nasional, grafik keluhan menurun dari minggu ke minggu.; di pasar desa, roda ekonomi berputar rapi. Pada titik itu kebijakan menemukan kehormatannya: uang negara kembali ke rakyat, dan anak-anak melangkah lebih tegak.

Agar tidak melayang di tataran prinsip, berikut ceklis singkat untuk kepala daerah: pastikan setiap dapur lulus uji komisioning dan SLHS; tetapkan radius antar sepuluh kilometer atau kurang dari satu jam; wajibkan pencatatan suhu dua titik setiap pengantaran; bentuk pos kendali yang responsnya maksimal satu jam; jalankan sampling acak harian dengan pelaporan terbuka; kontrakkan pembayaran berbasis kinerja; publikasikan dasbor mingguan agar warga melihat kemajuan, bukan janji. Enam baris ini cukup menjadi start kit pengendalian risiko sembari perbaikan struktural berjalan.

Pada akhirnya, keberhasilan MBG ditentukan oleh kebiasaan kecil yang diulang setiap hari. Pemerintah pusat mengawal standar; pemerintah daerah menggerakkan otot; sekolah menjaga penerimaan; dapur memegang kehigienisan; koperasi menguatkan rantai; warga memelihara kepercayaan. Kita tahu kita berada di jalur benar ketika disiplin terlihat, risiko dikendalikan, dan kesalahan diakui cepat untuk diperbaiki. MBG akan setara dengan martabat bila setiap porsi disiapkan dengan ilmu, diantar dengan tertib, diterima dengan bukti, dan dipertanggungjawabkan dengan data. Di situlah anak-anak Indonesia menemukan tenaga, orang tua menemukan ketenangan, dan kita semua menemukan alasan untuk terus bekerja.

Menjelang senja di pesisir yang sama, perahu-perahu kembali dan halaman sekolah mulai sepi. Di depan kelas, warden mengangkat termometer sekali lagi—angka tetap aman. Seorang anak menyimpan kotak makannya dan berlari kecil sambil menepuk dada: “Terima kasih, Bu.” Di ponsel guru, dasbor kabupaten menampilkan hijau; di ponsel ibu pedagang sayur, notifikasi pembayaran T+7 masuk. Kepala sekolah mengirim pesan singkat ke kelompok nelayan: “Menu besok jalan sesuai rencana.” Rantai terasa utuh: dari laut ke dapur, dari dapur ke kelas, dari kerja ke kepercayaan.

Begitulah MBG kita ingin dikenang—bukan oleh pidato panjang melainkan oleh anak yang pulang dengan perut aman dan langkah ringan. (H-4)

[OTOMOTIFKU]