
ISU pembiayaan pendidikan semakin menjadi sorotan publik. Ketimpangan alokasi anggaran dan tingginya beban biaya yang ditanggung orangtua telah menciptakan kesenjangan akses serta penurunan kualitas pendidikan. Alih-alih menjadi sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pembiayaan pendidikan justru menjadi penghalang. Ini menjadi tanda bahaya bagi masa depan negara.
Secara kasatmata, hal ini dapat dilihat dari berbagai jenis biaya yang harus dibayar orangtua. Biaya-biaya tersebut, seperti uang komite di sekolah negeri, uang SPP di sekolah swasta, hingga biaya tidak rutin untuk seragam, ekstrakurikuler, darmawisata, menjadi contoh nyata beban yang ditanggung orangtua. Layanan ini pun kerap dikaitkan dengan upaya meningkatkan mutu pembelajaran.
Hal itu menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya pendidikan harus dibiayai dan oleh siapa, juga bagaimana memastikan pembiayaan tersebut menghasilkan pelayanan yang berkualitas.
PENDIDIKAN SEBAGAI BARANG PUBLIK
Pendidikan kerap dipandang sebagai barang publik karena manfaatnya luas dan—idealnya—bisa diakses siapa pun. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 mengamanatkan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN. Dalam praktiknya, pendidikan sebagai barang publik sulit terwujud. Alokasi yang tidak tepat, misalnya, sering dituding menjadi sebabnya.
Selain itu, ada kecenderungan asumsi ini menyempitkan pendidikan sebagai tanggung jawab individu, yang sering kali didasari pola pikir utilitarian—yaitu fokus pada manfaat ekonomis bagi perorangan (Daviet, 2016). Asumsi individualistis ini juga membuka ruang bagi marketisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan (Hogan & Thomson, 2020). Akibatnya pendidikan berubah menjadi barang privat yang aksesnya bergantung pada kemampuan membayar.
Sebagai tambahannya, dengan dalih keterbatasan anggaran dan desakan untuk meningkatkan mutu lewat persaingan, banyak negara mendorong pihak swasta untuk menyediakan layanan pendidikan berbayar. Dampak nyata yang terlihat ialah maraknya privatisasi, di mana orangtua dapat memilih sekolah sesuai kapasitas finansial mereka.
Fenomena ini juga mendorong komersialisasi hingga ke sekolah-sekolah negeri, seperti munculnya layanan tambahan berbiaya ekstra—misalnya bimbingan tambahan atau ekstrakurikuler khusus—yang terjadi di dalam maupun di luar sekolah. Hal ini mendorong hubungan yang cenderung transaksional antara orangtua dan sekolah, sebuah pandangan yang mengabaikan fakta bahwa proses pendidikan juga melibatkan pertimbangan relasi sosial, kultural, dan komunal yang lebih luas.
Saat ini, pembiayaan sekolah melalui Biaya Operasional Sekolah (BOS) untuk sekolah negeri dan swasta dianggap sebagai perwujudan dari tanggung jawab pemerintah dalam membiayai pendidikan. Namun, biaya ini tidak mencukupi dan kerap diselewengkan.
Menurut KPK, sekitar 12 % dari dana BOS tidak digunakan sesuai dengan alokasinya dan 40% sekolah melakukan praktik nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa (Tempo, 24/4/2025). Sedangkan penggalangan dana oleh Komite Sekolah untuk menutupi kekurangan dana tersebut justru terjadi dalam relasi kuasa yang timpang, serta informasi asimetris yang mendudukan orangtua dalam posisi lemah. Hal-hal ini memerlukan ketegasan pemerintah sebagai regulator.
PENDIDIKAN SEBAGAI BARANG BERSAMA
Menghadapi kompleksitas masalah ini, diperlukan paradigma baru dalam memandang pendidikan. Sebagai alternatifnya, Daviet (2016) menekankan pendidikan sebagai barang bersama yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab bersama berbasis prinsip humanistis.
Hal ini mendorong kontrak sosial berbeda di mana akses pendidikan tidak seharusnya bergantung pada kemampuan finansial orangtua semata. Pemerintah berperan sebagai penjamin, regulator, dan penyedia layanan pendidikan melalui berbagai skema pembiayaan yang memastikan semua warga mendapatkan akses setara.
Ada dua prinsip utama yang diperlukan, yaitu transparansi dan proses demokratis dalam perumusan peraturan mulai dari tingkat nasional, daerah, hingga sekolah.
Di samping itu, pola alokasi anggaran untuk pembiayaan pendidikan di sekolah juga perlu diubah untuk mengakomodasi kebutuhan di sekolah serta mendorongnya melakukan inovasi pendidikan. Saat ini, jumlah alokasi dana bantuan tersebut masih jauh dari angka ideal. Misalnya biaya BOS SD Rp940.000 per tahun hanya menutup kurang dari 10% biaya pendidikan untuk siswa SD per tahun.
Skema pembiayaan pendidikan dapat dirancang dengan empat komponen: kegiatan inti, kinerja, efektivitas, dan strategi. Pendekatan ini telah d.iterapkan di Finlandia melalui sistem imputed financing
Dengan skema ini, pembiayaan disesuaikan dengan kebutuhan dan capaian sekolah. Industri dapat berperan aktif sebagai mitra pembiayaan berbasis kinerja dan efektivitas. Pemerintah harus menetapkan regulasi agar implementasi skema ini berlangsung secara transparan dan akuntabel.
PEMBIAYAAN DAN MUTU PENDIDIKAN
Pemenuhan pembiayaan pendidikan harus berdampak pada peningkatan kualitas layanan. Skema pembiayaan perlu menjamin kualitas guru dan pengelola sekolah serta proses penjaminan mutu yang konsisten. Sayangnya, kualitas SDM pendidikan masih rendah dan peningkatan kapasitas guru belum menjadi prioritas APBN. Jika pemerintah tetap mengalokasikan dana untuk sekolah kedinasan, skema khusus bagi calon guru dengan seleksi ketat bisa dipertimbangkan.
Mutu pendidikan tidak selalu dapat tercapai lewat kompetisi pasar semu. Abrams (2016) menyarankan praktik bisnis yang relevan seperti pemberian gaji layak bagi karyawan yang memiliki peran strategis. Artinya mutu pelayanan pendidikan berkualitas dimulai dari gaji yang layak untuk para guru. Penjaminan mutu juga dapat dilakukan melalui asesmen sampel kecil dan pemanfaatan data capaian siswa sebagai dasar perbaikan (Abrams, 2016).
Hal ini sudah mulai dilakukan melalui Asesmen Nasional. Namun, lagi-lagi, hal ini mensyaratkan kemampuan guru, kepala sekolah, dan pengelola daerah untuk menerjemahkan data menjadi program pembelajaran dan kebijakan. Penjaminan mutu berbasis data, seperti dalam dunia bisnis, membutuhkan kapasitas semua pemangku kepentingan untuk mendorong perubahan praktik di semua level.
Sejatinya, biaya pendidikan yang dikeluarkan harus dapat diwujudkan menjadi layanan pendidikan berkualitas yang dapat diakses semua warga. Jika tidak ada perubahan dalam kebijakan dan skema pembiayaan pendidikan serta keberpihakan untuk penjaminan mutu yang konsisten, masa depan bangsa ini benar-benar terancam.
[OTOMOTIFKU]