
GURU Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., menilai bahwa akar persoalan program Makan Bergizi Gratis (MBG) terletak pada lemahnya pengawasan dan besarnya target yang ingin dicapai dalam waktu yang singkat.
Berdasakan keterangan Badan Gizi Nasional (BGN) sejak Januari hingga 22 September 2025, terjadi 4.711 kasus keracunan MBG. Kasus keracunan massal MBG yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, awal minggu ini telah menyebabkan 842 korban.
Prof. Sri Raharjo menilai, target pemerintah untuk menyasar 80 juta siswa pada tahun pertama, seperti yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, merupakan langkah yang terburu-buru. “Istilahnya too much too soon, apalagi membangun 30 ribu unit dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) membutuhkan biaya, tenaga, dan sistem yang tidak kecil,” ujarnya dalam siaran pers, Jumat (26/9).
Adanya kasus keracunan berulang terjadi karena fungsi pengawasan yang sejak awal tidak berjalan baik. Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga baru dinilai belum memiliki cukup sumber daya manusia, sementara SPPG juga belum siap secara menyeluruh.
Ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya fokus pada kualitas dan keamanan pangan yang menjamin keamanan setiap porsi. “Jika siswa yang ditargetkan semakin banyak, jumlah SPPG semakin hari juga semakin banyak, tetapi pengawasannya tetap lemah, hal ini relevan dengan kasus keracunan yang meningkat,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan, memasak ribuan porsi dalam waktu singkat berpotensi membuat makanan yang tidak matang merata hingga risiko adanya zat beracun dan bakteri patogen yang masih hidup.
Pada dampak berkepanjangan, Sri mengingatkan bahwa kegagalan pengelolaan MBG akan merugikan banyak pihak. Selain menurunkan kepercayaan publik, keracunan yang berulang dapat berakibat pada gangguan kesehatan anak, mulai dari diare hingga penurunan nafsu makan, yang bertolak belakang dengan tujuan awal program peningkatan gizi.
Ia juga menyoroti pentingnya peran payung hukum untuk program MBG yang aman. “Idealnya ada aturan khusus yang mengatur, seperti di Jepang yang memiliki undang-undang resmi tentang makan siang di sekolah. Namun, pembentukan undang-undang tentu membutuhkan waktu,” paparnya.
Sekolah dan Orangtua Berhak Menolak
Sembari mengharapkan perbaikan regulasi dan pengawasan, Sri menyatakan bahwa sekolah dan orangtua berhak menentukan sikap pada program MBG. Mereka dapat menerima atau menolak penyediaan makanan sesuai kesiapan dan kapasitas SPPG. “Jika mereka merasa program belum siap, mereka bisa menolak dan tidak bisa dipidanakan,” tegasnya.
Dengan munculnya kasus keracunan yang kembali terulang, Sri menekankan pentingnya evaluasi dan pendataan terkait program MBG. Sebuah hal yang sangat penting, mengetahui kondisi status gizi siswa pada awal dan akhir tahun pertama kebijakan dicanangkan. Menurutnya, akan jadi lebih baik apabila pemerintah dapat memastikan kasus keracunan tidak terulang kembali. (M-1)
[OTOMOTIFKU]