
SETIAP musim gugur, burung Robin Eropa muda memulai perjalanan migrasi pertamanya ke selatan. Perjalanan panjang ini penuh bahaya, mereka harus beristirahat secara berkala, menimbun cadangan lemak untuk energi, serta mengatur waktu terbang dengan hati-hati.
Akan tetapi, risiko yang mereka hadapi tidak hanya datang dari cakar predator yang menyerang secara langsung. Sering kali, hanya karena mendengar suara panggilan predator sudah cukup untuk mengubah jalannya migrasi.
Penelitian terbaru dari Universitas Lund mengungkap burung Robin tidak merespons suara predator dengan cara yang sama. Reaksi mereka bergantung pada apakah predator tersebut aktif berburu di siang hari atau di malam hari. Adaptasi halus terhadap perbedaan ancaman ini ternyata berimplikasi besar terhadap kondisi fisik, kecepatan migrasi, bahkan peluang reproduksi di kemudian hari.
Lanskap ketakutan
Persinggahan saat migrasi merupakan tahap penting. Burung membutuhkan waktu hampir seminggu untuk mengisi energi yang hanya akan menopang satu malam terbang. Namun, setiap kali berhenti, kerentanan mereka meningkat.
Konsep lanskap ketakutan menjelaskan bagaimana satwa mangsa menyesuaikan perilakunya bukan hanya karena serangan predator nyata, tetapi juga karena persepsi terhadap kemungkinan ancaman. Bagi burung robin, sekadar mendengar suara predator dapat menentukan seberapa berani mereka mencari makan atau seberapa hati-hati mereka bergerak di sekitar tempat singgah.
Menurut Susanne Åkesson, profesor biologi dari Universitas Lund, untuk pertama kalinya terbukti bahwa panggilan predator malam hari dapat memengaruhi strategi burung dalam memperoleh energi selama migrasi.
Eksperimen pengaruh suara predator
Dalam percobaan, peneliti memperdengarkan suara dua jenis predator pada burung robin muda. Kedua predator itu seekor elang yang berburu siang hari dan burung hantu cokelat yang aktif di malam hari.
Hasilnya menunjukkan kontras yang jelas. Suara elang hampir tidak mengubah perilaku burung robin. Sebaliknya, suara burung hantu menimbulkan efek kuat, burung menjadi lebih waspada, makan lebih sedikit, menunda aktivitas, dan akibatnya menyimpan cadangan energi yang jauh lebih rendah.
Menurut Åkesson, hal ini menunjukkan adanya dilema penting, burung harus memilih antara makan banyak demi mengisi energi atau menahan diri untuk mengurangi risiko dimangsa. Dampaknya, burung robin yang terpapar suara burung hantu berakhir dalam kondisi tubuh lebih kurus dengan kemampuan terbang lebih terbatas.
Mereka diprediksi membutuhkan lebih banyak persinggahan tambahan, yang dapat membuat mereka terlambat tiba di daerah musim dingin. Keterlambatan ini bisa mengurangi peluang mereka dalam berebut wilayah dengan pesaing yang sudah lebih dulu tiba.
Ketakutan sementara, dampak besar
Studi ini juga menemukan pola unik terkait waktu keberangkatan. Pada kelompok kontrol, burung secara bertahap mulai terbang lebih awal di malam hari seiring kondisi tubuh mereka membaik.
Sebaliknya, burung yang mendengar suara burung hantu tetap berangkat lebih lambat, sehingga periode terbang mereka bergeser ke larut malam. Perhitungan dari keterlambatan kecil ini menimbulkan perlambatan migrasi secara keseluruhan.
Dengan kata lain, ketakutan tidak hanya mengganggu asupan energi, tetapi juga memengaruhi jadwal perjalanan jarak jauh burung-burung tersebut. Bahkan tanpa adanya serangan langsung, sekadar kehadiran suara predator bisa mengubah strategi migrasi secara mendasar.
Respons paling drastis terlihat pada hari-hari awal paparan suara predator malam. Aktivitas mencari makan menurun tajam, tetapi setelah sekitar dua minggu, perilaku burung mulai kembali mendekati kelompok kontrol.
Temuan ini menunjukkan burung robin tidak terus-menerus hidup dalam ketakutan, melainkan hanya mengalami reaksi sementara. Meski sifatnya singkat, pengaruh tersebut tetap signifikan.
Beberapa hari saja kehilangan kesempatan makan dapat membuat perbedaan besar antara burung yang tiba dengan kondisi prima atau justru kelelahan. Dalam migrasi, hambatan kecil yang terakumulasi bisa berujung pada kerugian besar terhadap kelangsungan hidup.
Perbedaan antara burung muda dan berpengalaman
Studi ini menyoroti respons ketakutan juga mungkin berbeda berdasarkan pengalaman. Burung yang diuji adalah migran muda yang menjalani perjalanan pertamanya, sehingga mereka masih naif terhadap ancaman nyata di sepanjang rute.
Sebaliknya, burung dewasa yang sudah berpengalaman kemungkinan lebih adaptif. Dengan memori dan pengalaman sebelumnya, mereka dapat menimbang risiko dengan lebih baik. Mulai dari kapan harus makan dengan cepat, kapan harus lebih waspada, sehingga bisa menyeimbangkan kebutuhan energi dengan keamanan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting, bagaimana interaksi antara pengalaman, fisiologi, ingatan, dan sinyal lingkungan membentuk strategi migrasi? Dan apakah burung berpengalaman memang lebih mampu mengatasi tekanan predator dibandingkan burung muda yang masih belajar?
Dampak bagi burung migran
Hasil penelitian ini juga memiliki dampak praktis. Persinggahan migrasi tidak sekadar tempat mengisi tenaga, melainkan tempat di mana rasa takut dan kesempatan berinteraksi menentukan kelangsungan hidup. Lingkungan yang tenang dan terlindung memungkinkan burung untuk makan dengan aman, tiba di tujuan dengan kondisi yang lebih baik, serta meningkatkan peluang bertahan hidup.
Seperti disampaikan Åkesson, pemahaman tentang bagaimana burung migran bereaksi terhadap ancaman predator dapat membantu perencanaan habitat dan kawasan perkotaan. Menyediakan area istirahat yang aman berarti memberikan mereka peluang lebih besar untuk menyelesaikan perjalanan panjang dengan sukses.
Dengan demikian, migrasi bukan hanya sekadar soal stamina dan jarak tempuh. Namun, adalah proses negosiasi dengan predator yang tak terlihat, di mana sekadar suara burung hantu di kejauhan mampu mengubah keseimbangan antara hidup dan mati. (Earth/Z-2)
[OTOMOTIFKU]