
PP No. 71/2019 merupakan peraturan teknis turunan dari UU No. 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pada revisi terbaru PP tersebut mengatur tanda tangan elektronik yang tersertifikasi (TTET). Pasal 17 Ayat 2a secara eksplisit memberikan dasar hukum sertifikat elektronik pada transaksi elektronik yang memiliki risiko tinggi. Pada bagian penjelasan, transaksi elektronik yang memiliki risiko tinggi didefinisikan sebagai transaksi keuangan yang tidak dilakukan dengan tatap muka secara fisik.
Implementasi penggunaan TTET dinilai kurang mengakomodasi prinsip netralitas teknologi (technology neutrality) yang memberi ruang bagi pelaku usaha untuk memilih dan mengembangkan mekanisme pengamanan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Rencana penerapan TTET tersebut berpotensi menimbulkan sejumlah tantangan, seperti potensi bertambahnya beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat maupun pelaku usaha, terutama mereka yang kerap melakukan transaksi digital dalam kegiatan sehari-hari.
Praktisi literasi keuangan, Ligwina Hananto, memberikan pandangan mengenai digitalisasi sebagai doping inklusi keuangan, salah satunya saat ini UMKM dapat memanfaatkan QRIS untuk memudahkan pembayaran dari konsumen. Menanggapi dinamika turunan UU ITE terkait TTET, ia berseloroh dalam diskusi publik yang digelar Tenggara Strategic, Kamis (25/9), “Aku berpikir masak iya mamang-mamang gorengan langgananku di Cihapit harus pakai sertifikat tanda tangan elektronik?”
Founder dan managing director vosFoyer, William Sudhana, berpendapat bahwa kemudahan pembayaran digital jangan sampai terhalang suatu kebijakan yang dapat membuat masyarakat kesulitan melakukan pembayaran digital. William pun melontarkan komentar senada dengan Ligwina. “Operational cost bisnis dan inovasi akan terpapar, terutama transaksi kecil. Itu akan memperlambat pertumbuhan ekonomi digital kita,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Kamis (26/9).
Manajer Deputi Direktur Pelaksanaan Edukasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogissa Piertina Susilo turut memberikan tanggapan bahwa literasi digital menjadi sangat penting di tengah beragam modus scam dan phishing yang memanfaatkan keadaan psikologis calon korban. Mekanisme keamanan berlapis telah menjadi praktik umum di sektor jasa keuangan.
Beberapa di antaranya mencakup penerapan One Time Password (OTP), Personal Identification Number (PIN), biometrik, hingga verifikasi identitas melalui Know Your Customer (KYC) menjadi standar dalam sektor jasa keuangan digital. Salah satu contoh keberhasilan penerapan pengamanan organik tersebut dapat dilihat dari hadirnya Indonesia Anti Scam Center (IASC) yang berfungsi sebagai wadah koordinasi bagi lembaga keuangan dalam memantau serta menekan potensi penipuan. (I-2)
[OTOMOTIFKU]