
Penamaan Ibu Kota Politik di Nusantara dinilai hanya sebagai pernyataan politik dari pemerintah untuk mempertegas kelanjutan pembangunan di Kalimantan Timur. Istilah itu juga tak lazim digunakan oleh banyak negara.
“Itu sebagai bluffing politik untuk menjawab pertanyaan, keraguan, ketidakpastian tentang kapan ibu kota ini difungsikan. Maka, harus ada dalam rencana pemerintah. Jadi, untuk menjamin itu, dimunculkan dalam RKP (rencana kerja pemerintah) pemutakhiran. Jadi, dimunculkan di situ,” ujar pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan saat dihubungi, hari ini.
Penamaan Nusantara sebagai Ibu Kota Politik dapat ditafsirkan sebagai niat pengambil keputusan untuk menyelesaikan pembangunan pusat pemerintahan. Cabang-cabang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif diharapkan dapat berfungsi pada 2028.
Namun hal itu dinilai terlalu ambisius dan tak realistis. Sebab, sejauh ini pembangunan baru dilakukan untuk kantor-kantor eksekutif. Itu pun belum rampung 100%. Pembangunan sarana untuk legislatif dan yudikatif bakal memakan waktu dan biaya yang tak sedikit.
Belum lagi, imbuh Djohermansyah, 2028 merupakan tahun politik jelang pemilu. Itu bakal menambah kompleksitas dan membuat realisasi pemindahan pusat pemerintahan menjadi jauh lebih sulit.
“Kalau 2028 itu berarti pembangunan harus dimulai pada 2026 dan 2027 dengan anggaran yang banyak. Jadi dalam tempo dua tahun untuk menaruh anggaran besar-besaran di sana tidak realistis. Karena APBN kita sudah sesak nafas,” kata dia.
“Saya agak meragukan bahwa itu bisa dipakai pada 2028 sebagai ibu kota politik atau ibu kota negara,” tambah Djohermansyah.
Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah tak perlu tergesa-gesa dan memaksakan pemindahan pusat pemerintahan ke Nusantara. Pengambil keputusan disarankan agar mengikuti rencana pembangunan jangka panjang terhadap IKN.
“Tidak perlu terburu-buru, itu butuh puluhan tahun. Tidak harus juga 2028 harus pindah. Jadi lebih baik bertahap, sesuai dengan perencanaan jangka panjang, sesuai kemampuan keuangan negara, misal, 10-15 tahun lagi. Jadi jangan terlalu ambisius juga,” tutur Djohermansyah.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025. Dalam Perpres itu, disebutkan upaya pembangunan IKN dilaksanakan sebagai upaya mendukung IKN sebagai Ibu Kota Politik di 2028.
Adapun Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Muhammad Qodari menuturkan, apa yang berkaitan dengan IKN dalam Perpres tersebut ialah tiga pilar lembaga negara yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus sudah memiliki fasilitas memadai di ibu kota baru tersebut.
“Kalau mau difungsikan sebagai pusat pemerintahan, sebagai ibu kota, maka tiga lembaga yang merupakan pilar kenegaraan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif itu sudah harus ada fasilitasnya,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (22/9).
Menurutnya, keberadaan hanya satu lembaga di IKN tidak cukup untuk mendukung jalannya roda pemerintahan. Kehadiran eksekutif tanpa legislatif dan yudikatif, misalnya, akan membuat koordinasi kenegaraan timpang.
“Kalau baru ada eksekutif, legislatif tidak ada, nanti ngomong sama siapa, rapat sama siapa?” tutur Qodari. (Mir/P-1)
[OTOMOTIFKU]