Tradisi Religi Kenduri Blang di Aceh, Kearifan Lokal Penuh Makna

Tradisi Religi Kenduri Blang di Aceh, Kearifan Lokal Penuh Makna
Warga memasak daging kerbau untuk kenduri blang.(MI/Amiruddin Abdullah Reubee)

 

PANG Ulee buet ibadat, pang ulee hareukat meugoe” (Penghulu pekerjaan ibadah, penghulu mencari rizki bertani). Arti kata bahasa Aceh ini yang lebih luas kira-kira begini, pekerjaan paling utama adalah ibadah, sedangkan mencari rezeki paling utama yaitu bertani turun ke sawah. 

Begitulah moto untuk membangkitkan semangat dalam mengisi kehidupan masyarakat di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Kata filosofi penuh makna ini akrab disemboyankan sejak tempo dulu. 

Karena itu, dalam kehidupan sosial bertani di Kabupaten Pidie bahkan Provinsi Aceh umumnya, diwarnai oleh budaya, tradisi religi dan kearifan lokal. Sebagai daerah yang masyarakatnya mayoris muslim tentu banyak budaya dan kearifan berbaur syiar islam serta kebersamaan.

Seperti di Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, pada Kamis (25/9), ribuan kaum lelaki atau petani setempat menggelar Kenduri Treuen U Blang (kenduri hendak mulai turun ke sawah). Warga dari 28 desa sekitar ramai-ramai berkumpul di Makam Teungku Syik Haria, berlokasi dekat pinggiran sawah Desa Kampong Pisang, Kemukiman Bakti, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, Aceh. 

Makam Teungku Syik Haria adalah makam seorang ulama besar yang hidup sekitar abad ke 17 atau 18 Masehi (tidak diketahui catatan pasti). Ulama keturunan Arab itu dikenal menyiarkan Islam di Aceh dan merupakan orang saleh dan karomah. 

“Dari biaya mengumpulkan sumbangan, dapat menyembelih satu ekor kerbau ukuran besar. Dagingnya dibagi dan dimasak berkelompok terpisah oleh panitia desa masing-masing, di komplek makam Teuku Syik Haria. Lalu makan kenduri bersama menjelang waktu dhuhur, setelah membaca samadiah dan tahlil berjemaah” tutur Camat Sakti, Numasyitah, Kamis (25/6). 

TURUN TEMURUN

Dikatakan Nurmasyitah, tradisi Kenduri Tren U Blang atau akrab disebut Khanduri Blang ini adalah tradisi turun temurun sejak ratusan tahun silam yang dilaksanakan setiap hendak mulai turun ke sawah. Warga ramai-ramai membawa bekal nasi kulah (nasi berbungkuss daun pisang) ke lokasi mak, seraya berdoa massal dan dilanjutkan makan bersama dengan lauk kari kerbau yang dimasak oleh panitia desa masing-masing. 

“Di sini Kecamatan Sakti ada dua lokasi Kenduri Blang. Selain di sini lokasi makam Teuku Syik Haria, ada satu lagi di makam Po Teumeurehom Teuku di Kandang, Kemukiman Kandang. Di sana baru pekan lalu dilaksanakan, juga oleh warga setempat,” tutur Tarmizi, Tokoh Adat Kecamatan Sakti. 

Numasyitah mengharapkan mulai Oktober mendatang atau di awal musim hujan, warga harus turun ke sawah serentak. Hal itu agar mudah mengatur debit air irigasi dan terhindar hama penyakit tanaman padi. 

SEJAK ABAD KE-13

Penelusuran Media Indonesia, tradisi religi Kenduri Blang digelar sudah sejak zaman Kesultanan Aceh atau sekitar abad ke 13 Masehi. Agenda saling menyumbang untuk kenduri makan bersama dan berdoa berjemaah tersebut sudah membudaya di seluruh wilayah berjulukan Serambi Mekkah ini. 

Hanya saja perihal tertentu dan teknik pelaksanaan saja sedikit berbeda. Di Kecamatan Sakti misalnya, seperti sudah menjadi tradisi yakni saban tahun terbiasa menyembelih kerbau yang seolah tidak boleh sapi atau hewan ternak lainnya. 

Lalu di Kemukiman Blang Malo, Kecamatan Tangse yang juga masih wilayah Kabupaten Pidie, lain lagi hewan penyembelihan nya. Mereka sudah menjadi kebiasaan harus menyembelih sapi warna hitam. 

“Selalu sapi, warna hitam lagi. Tidak berani kami merubah warna lain atau beralih ke kerbau. Kadang, karena perlu yang warna hitam, harga sapi pun lebih mahal. Untuk kali ini saja baru kemarin harus membeli warna hitam, padahal harga lebih tinggi,

” tutur Ilyas, Kepala Mukim Blang Malo, Kecamatan Tangse. 

Beda lagi di Kecamatan Indrajaya dan Kecamatan Peukan Baro, juga wilayah Kabupaten Pidie. Petani di dua lokasi tersebut tiap tahun Kenduri Blang ketika sedang pertumbuhan tanaman berusia sekitar 2 bulan, mereka menyembelih kambing. 

Uniknya lagi, kulit kambing tersebut dibagikan walau dapat sedikit saja kepada seluruh petani setempat. Kulit kambing segar itu diletakkan pada pintu air pematang sawah sebagai berkah dan penawar penyakit. 

Belum lagi di Kemukiman Pirak, Kecamatan Matang Kuli, Kabupaten Aceh Utara. Setiap musim hendak turun ke sawah petani melaksanakan kenduri ber lauk kari kerbau. Sebelum kerbau itu disembelih, lebih dulu di bawa menyusuri mengelilingi pinggiran penjuru sawah nan luas. 

“Padahal warga disini kurang suka mengonsumsi daging kerbau. Tapi di saat Kenduri Blang tidak ada pilihan lain kecuali memasak kari kerbau,” tutur Hadijah seorang tokoh perempuan Desa Aron, Pirak, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara. 

USIA DUA BULAN

Lebih menarik lagi  ketika warga Desa Aron Pirak itu merayakan kenduri syukuran persis saat tanaman padi berusia 2 bulan. Untuk menggelar Kenduri Blang Syukuran itu, kali ini petani harus menyembelih biri-biri. 

“Kalau kenduri awal musim turun ke sawah menyembelih kerbau. Sedangkan saat kenduri usia tanaman padi 2 bulan menjelang bunting, harus menyembelih biri-biri dan lokasinya kenduri pun di meunasah balai desa, bukan di makam teungku” tambah Hadijah. 

Namun, meski ada perbedaan tradisi atau ke arifan lokal antarkampung di Aceh, yang pasti Kenduri Blang itu adalah dimaknai dengan sedekah dan kebersamaan antar sesama. Di situ terkandung nilai rasa syukur dan mengharap hasil pertanian melimpah. 

Kemudian bersama agenda tradisi religi itu di isi dengan zikir, samadiah, tahlil, tahmid dan sAlawat kepada Rasulullah SAW serta doa bersama. 

“Melalui menengadahkan doa berjemaah itu diharapkan kepada Sang Pencipta agar jauh dari hama penyakit, mendapat hasil melimpah serta terhindar dari bala atau mara bahaya” tutur M Adli Abdullah, Budayawan Aceh yang juga Dosen Universitas Syi’ah Kuala, Banda Aceh. (E-2)

 

 

[OTOMOTIFKU]